Qiblat
merupakan arah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kita menghadap kepadanya
ketika melakukan ibadah, terutama ibadah sholat. Ketentuan bagi umat islam
ketika shalat untuk menghadap kiblat telah disyari’atkan di dalam ayat-ayat
suci alqur’an maupun hadits-hadits nabi Muhammad saw.
SURAH AL-BAQARAH AYAT
142
“as-sufaha’
(orang-orang yang lemah akalnya) di antara manusia akan berkata: “apakah yang
memalingkan mereka dari kiblat mereka (bait al-maqdis) yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?” jawablah; “milik Allah timur dan barat; dia memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”
Ayat
ini diturunkan kepada nabi Muhammad saw sebelum Allah mengabulkan permintaannya
mengalihkan arah kiblat, yang mana ayat ini adalah gambaran bagaimana sikap
yang akan ditampilkan oleh orang-orang Yahudi dan apa yang akan dikatakan
olehnya bila pengalihan itu terjadi.
As-sufaha’
adalah orang-orang yang lemah akalnya/yang melakukan aktifitas tanpa dasar,
baik karena tidak tahu, enggan tahu/tahu tapi melakukan yang sebaliknya.
Sebutan ini menurut para pakar tafsir ditujukan kepada pendeta, orang Yahudi,
dan orang-orang munafik.
Pertanyaan
yang terdapat pada ayat mengandung pengertian mengingkari dan keheranan. “apa
maksud mereka memindahkan kiblat yang biasa mereka pakai, sedang kiblat
tersebut merupakan kiblat para rasul dan nabi sebelum mereka.?” mereka
berfikiran kalau menghadap baitul maqdis merupakan perintah dari Allah, terus
mengapa Allah memerintahkan mereka mengarah ke ka’bah? Pasti Nabi Muhmmad dan
kaumnya hanya mengikuti hawa nafsu. Mananggapi hal itu Allah memerintahkan
Nabi-Nya; “jawablah mereka Milik Allah timur dan barat”, kedua arah itu
sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan, dan pengaturan Allah. Jadi kemanapun
seseorang mengarah akan menemukan Tuhan.
Allah
menentukan qiblat ke ka’bah ini bertujuan agar umat islam mempunyai satu arah
yang sama dalam beribadah. Dia berwewenang menetapkan apa yang dikehendaki-Nya
menjadi arah bagi untuk menghadap kepada-Nya dan dia juga mengetahui hikmah dan
rahasia di balik itu semua.
Kemudian dia memberikan petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nyake jalan yang lurus. Petunjuk bagi orang islam adalah mengarah
ke Ka’bah.
SURAT AL- BAQARAH
AYAT 144
“sungguh
kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai, palingkan wajahmu ke arah masjidil
haram. Dan diman saja kau berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-kitab (taurat dan
injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke massjidil haram itu dalah benar
dari tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan”
Melalui ayat ini Allah menyampaikan kpd nabi Muhammad
bahwa Dia mengetahui keinginan, isi hati atau do’a beliau agar kiblat segera
dialih ke Mekkah.
Kaum sufi menafsiri ayat ini memerintahkan wajah bukan
hati dan pikiran. Karena wajah itu nyata jadi menghadapnya kpd hal yang nyata,
yakni ka’bah. Sedang hati dan pikiran itu ghaib, maka harus mengarah kepada
Yang maha Ghaib, yakni Allah.
Setelah keinginan nabi dikabulkan, selanjutnya Allah
memerintahkan kepada semua manusia tanpa kecuali dengan redaksi kata yang
berbeda dari sebelumnya, yakni فولوا
هجوهكم yang mengandung pengertian jamak. Dan dengan redaksi المسجد
الحرام maka dapat difahami didalam shalat seseorg ckp dg mghdap ke arh
yg dperhitungkan lrs dg arh ka’bah.
Ayat ini turun ketika nabi berada di satu rumah di
Madinah. Sehingga lafadz و حيث ما كنتم فولوا
وجوهكم شطرهmengindikasikan
bahwa walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini/bukan pada waktu itu, umat
muslim tetap diperintalahkan untuk menghadap ke kiblat ka’bah.
Maksud dari as-sufaha’ yang disinggung
sebelumnya, sesungguhnya mereka mengetahui kebenaran perpindahan itu dari Tuha
Bn dan nabi yang akan diutus akn mengarah ke dua kiblat Baitul Maqdis dan
ka’bah, karena hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab mereka. Namun mereka
menyembunyikan hal itu sebab untuk menghasud Nabi dan umat muslim.
Karena itu Allah mengancam mereka dengan firman-Nya
“sekali-kali Allah tidak lalai terhadap apa yang mereka kerjakan”.
SURAT AL-BAQARAH AYAT
149
“dan dari mana saja kamu keluar,
maka palingkan wajahmu kearah masjidil haram; sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang haq dari tuhanmu, dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan”
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَام lafadz ini diulangi sebanyak dua
kali untuk menegaskan kembali kalau perintah tersebut berlakunya tidak terbatas
pada masa dan tempat, dimanapun dan kapanpun tetap menghadap kiblat ka’bah
dalam shalat.
Firman di atas mempertegas (memperkuat) bahwa perintah
menghadap kiblat merupakan persoalan yang benar dan bersifat tetap, disamping
sesuai dengan maslahat dan mengandung hikmah yang sangat besar.
SURAT AL-BAQARAH AYAT
150
“dari
mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan
dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajah-wajah kamu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
dzalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku atas kamu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”
Allah
mengulangi kata-kata "fawalli wajhaka" sebanyak tiga kali (ayat 144,
149, 150) yang merupakan penjelasan hukum dan manfaat yang sesuai dengan
persatuan umat.
Dan juga bertujuan agar tidak ada hujjah bagi manusia
(kaum ahli kitab dan kaum musyrik serta kaum munafik) atas kamu, agar tdk ada
peluang bagi lawan-lawan untuk mengeritik/mengejek dan tidak mempertanyakan mengapa kamu tidak
mengarah ke ka’bah (ain ka’bah) padahal itu lebih tepat.
Lain halnya dg mereka yg zalim karena ingkar dan
menyembunyikan kebenaran, mereka akan selalu mencemooh walau seberapa banyak
telah dibuktikan dalil-dalil yang benar kepadanya.
Ø Yahudi : “Muhammad tidak sekali-kali memindahkan
kiblatnya ke ka’bah melainkan karena kecenderungannya terhadap agama kaumnya
(org2 musyrik) dan negaranya sendiri”.
Ø Org2 munafik : “Sesungguhnya ia dalam keadaan goncang,
tidak tetap pada satu kiblat”
Ø Org2 musyrikin : “Muhammad telah kembali kepada kiblat
kami”
Dengan menentukan kiblat tersendiri di Baitullah yang
dibangun oleh nenek moyang kalian (nabi Ibrahim as.) dan atas ketetapan Allah,
Allah akan menjadikan umat lain untuk mengikutimu (Muhammad). Karena penduduk
dunia kebanyakan berkiblat ke ka’bah. Pada dasarnya, setiap perintah yg datang dari Allah
adalah suatu nikmat.
IMPLIKASI TERHADAP
HUKUM ISLAM
Hukum menghadap kiblat à WAJIB
Ø Wilayah sekitar ka’bah à ainul ka’bah
Ø Wilayah yg jauh dr ka’bah à ikhtilaful ulama
PERBEDAAN PENDAPAT
ULAMA TENTANG ARAH KIBLAT
A.
Imam syafi’i
“wajib
menghadap ka’bah secara ainul ka’bah baik bagi yang dekat maupun yang jauh dari
ka’bah”
Ainul
ka’bah berarti menghadap ke ka’bah secara yakin dengan dapat melihat ka’bah
bagi orang yang bisa melihat ka’bah dan
secara ijtihady bagi orang yang berada di tempat yang tidak bisa melihat ka’bah
Ijtihad guna menemukan
arah kiblat secara ainul ka’bah bisa dengan menggunakan:
Ø Posisi
rasi bintang
Ø Bayangan
matahari
Ø Perhitungan
segitiga bola
Ø Dan
pengukuran yang menggunakan peraltan modern seperti kompas, GPS, theodolit dsb
B. Imam hanafi, Imam Hambali
dan Imam Maliki
Dalam tiga madzab ini
terdapat 2 kriteria arah kiblat
v secara ainul ka’bah bagi orang yang dapat
melihat ka’bah
v Secara
jihatul ka’bah (arahnya saja) bagi orang yang bermukim di wilayah yang jauh
dari ka’bah
Dasar hukum yang
digunakan mereka adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh ibn abbas
قال رسول الله ص.م البيت قبلة لأهل
المسجد, والمسجد قبلة لأهل الحرام, والحرام قبلة لأهل الأرض مشارقها ومغاربها من امتي
“ka’bah adalah kiblat bagi orang-orang yang berada
di masjidil haram, masjidil haram adalah kiblat bagi orang-orang yang berada di
tanah haram, dan tanah haram merupakan kiblat bagi orang yang berda di muka
bumi, baik di barat atau timur dari umatku”
Namun
dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin
karya Sayyid Abd al-Rahman bin Muhammad
bin Husain bin Umar, dijelaskan bahwa
Letak kecukupan menghadap jihah menurut pendapat yang membolehkan,
apabila tidak dapat mengetahui petunjuk-petunjuk ‘ain ka’bah, oleh karena itu
bagi orang yang kuasa menghadap ‘ain jika kiranya dapat dicapai melalui
ijtihad, maka tidak mencukupi dengan jihah
REFERENSI
Tafsir
Misbah vol. I karya M. Quraisy Syihab
Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir jilid I
Tafsir
Al-Maraghi juz I karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghi